BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan tentang anak sudah lama dikenal. Pada zaman
Romawi dan Yunani sudah ada para ahli yang memperhatikan pendidikan anak
walaupun pada saat itu anak belum dipandang sebagai bentuk manusia tersendiri.
Penelitian terhadap anak dan buku-buku mengenai perkembangan jiwa anak pada
zaman dahulu masih sangat minim bahkan belum ada.
Namun kemudian studi sistematis tentang perkembangan anak
mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada awal abad ke-20.
Penelitian-penelitian yang dilakukan pada zaman ini bersifat deskriptif dan
dititikberatkan pada ciri-ciri khas yang terdapat secara umum,
golongan-golongan umur, serta masa-masa perkembangan tertentu.
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa perkembangan
anak bersifat diskriptif sesuai dengan golongan umurnya, namun ada kondisi
dimana anak memerlukan perhatian khusus. Khusus pada makalah ini, penulis akan
membahas mengenai apa saja karakteristik dan masalah pada anak-anak yang berkebutuhan
khusus. Makalah ini diberi judul “Perkembangan
Anak Luar Biasa”.
Pada makalah ini penulis akan secara mendalam membahas
mengenai karakteristik dan masalah perkembangan anak luar biasa khususnya anak
tunanetra, anak tunagrahita, dan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar
khususnya pada anak yang disleksia.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan penulis rumuskan pada makalah
ini sesuai dengan yang sudah penulis paparkan pada latar belakang di atas,
yaitu:
a.
Apa saja karakteristik dan masalah perkembangan anak tunanetra?
b.
Apa saja karakteristik dan masalah perkembangan anak tunagrahita?
c.
Apa saja karakteristik dan masalah perkembangan anak disleksia?
1
|
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dibuatnya makalah ini selain sebagai
tugas individu pengganti Ujian Tengah Semester (UTS) pada mata kuliah Psikologi
Perkembangan I juga agar pembaca mengetahui tentang:
a.
Karakteristik dan masalah perkembangan anak tunanetra.
b.
Karakteristik dan masalah perkembangan anak tunagrahita.
c.
Karakteristik dan masalah perkembangan anak disleksia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik dan Masalah Perkembangan Anak Tunanetra
Dalam pendidikan anak luar biasa, anak yang mengalami
gangguan penglihatan lebih akrab disebut anak tunanetra. Pengertian tunanetra
tidak saja bagi mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu
melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
sehari-hari terutama dalam belajar. Maka pengertian anak tunanetra adalah
individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai
saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang normal.
Dari uraian di atas, anak-anak dengan gangguan
penglihatan ini memiliki ciri-ciri berikut:
a.
Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang normal.
b.
Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
c.
Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.
d.
Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Dari kondisi-kondisi di atas, pada umumnya yang digunakan
sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah
berdasarkan pada tingkat ketajaman matanya. Untuk mengetahui ketunanetraannya
dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai tes Snellen Card. Perlu
ditegaskan bahwa anak dapat dikatakan tunanetra apabila ketajaman
penglihatannya kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu
membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang normal dapat dibaca pada jarak
21 meter.
Berdasarkan acuan tersebut, anak tunanetra dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
a.
Buta
3
|
b.
Low Vision
Bila anak masih mampu menerima rangsangan cahaya dari
luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.
Anak tunanetra memliki karakteristik kognitif, sosial,
emosi, motorik, dan kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini sangat
bergantung pada sejak kapan anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat
ketajaman penglihatannya, berapa usianya, serta bagaimana tingkat
pendidikannya. Pertama-tama, penulis akan memaparkan penyebab ketunanetraan dan
selanjutnya penulis akan memaparkan secara berturut-turut mengenai
karakteristik perkembangan kognitif, motorik, emosi, sosial, kepribadian, dan
masalah dan dampak ketunanetraan.
a.
Penyebab Ketunanetraan
Secara ilmiah ketunanetraan
anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, apakah itu faktor dari dalam diri
anak (internal) ataupun faktor dari luar anak (eksternal). Hal-hal yang
termasuk internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi
selama masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat bawaan),
kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat dan lain sebagainya.
Sedangkan hal-hal yang termasuk eksternal diantaranya kecelakaan, terkena
penyakit siphilis yang mengenai
matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan
sehingga sistem syarafnya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, panas
badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri
ataupun virus.
b.
Perkembangan Kognitif
Indera penglihatan ialah salah
satu indera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar dirinya.
Anak tunanetra memiliki keterbatasan atau bahkan ketidakmampuan untuk menerima
rangsang atau informasi dari luar dirinya melalui indera penglihatan. Penerimaan
rangsang atau informasi hanya dapat dilakukan melalu pemanfaatan indera-indera
lainnya di luar indera penglihatan.
Indera penglihatan memegang
peranan dominan pada proses pembentukan pengertian atau konsep, di samping
indera lain dan fungsi intelktualnya. Akibat anak tunanetra maka proses
pembentukan pengertian atau konsep terhadap rangsang atau informasi dari luar
tubuh menjadi tidak utuh. Ketidakutuhan tersebut membuat anak tidak memiliki
kesan, persepsi, pengertian, ingatan, dan pemahaman yang bersifat visual
terhadap objek yang diamati.
Anak tunanetra lebih
menonjolkan pemanfaatan indera pendengaran mereka. Hal ini mengakibatkan
pembentukan proses pengertian atau konsep hanya berdasar kepada suara atau
bahasa lisan. Karena kurangnya stimulus visual maka perkembangan bahasa anak
menjadi lebih tertinggal dibandingkan dengan anak-anak normal. Pada anak
tunanetra, kemampuan kosakata terbagi dua, yaitu kata-kata yang berarti bagi
dirinya berdasarkan pengalamannya sendiri, dan kata-kata verbalistis yang
diperolehnya dari orang lain yang ia sendiri tidak pahami. Kosakata anak
tunanetra cenderung definitif.
Kesulitan besar akan terjadi
dan sangat mungkin dihadapi anak apabila realitas lingkungan mengalami
perubahan secara dinamis dan dengan mudah dapat diamati melalui indera
penglihatan tetapi tidak dengan indera lainnya. Inilah salah satu penyebab
perkembangan kognitif anak tunanetra terhambat.
Menurut Kirley, berdasarkan tes
intelegensi ditemukan bahwa rentang IQ anak tunanetra berkisar antara 45-160, dengan
distribusi 12,5% memiliki IQ kurang dari 80, kemudian 37,5% dengan IQ di atas
120, dan 50% dengan IQ di antara 80-120.
Pada akhirnya, perkembangan
kognitif anak tunanetra sangat tergantung pada bagaimana jenis
ketunanetraannya, kapan terjadi ketunanetraannnya, bagaimana tingkat pendidikan
anak, dan bagaimana stimuli lingkungan terhadap upaya pengembangan kognitifnya.
c.
Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik anak
tunanetra cenderung lambat dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.
Kelambatan ini terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan
adanya koordinasi fungsional antara sistem persyarafan dan otot dan fungsi
psikis, serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Pada anak tunanetra
mungkin fungsi syaraf dan ototnya tidak bermasalah, tetapi fungsi psikisnya
kurang mendukung sehingga menjadi hambatan tersendiri bagi perkembangan motorik
anak tunanetra.
Secara fisik anak tunanetra
mungkin mampu mencapai kematangan yang sama dengan anak normal lainnya, tetapi
karena fungsi psikisnya terbatas mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat
dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas gerak motorik.
d.
Perkembangan Emosi
Perkembangan emosi pada anak
tunanetra akan mengalami keterlambatan. Keterlambatan ini terutama disebabkan
oleh keterbatasan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa
kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba
untuk menyatakan emosinya, namun hali ini dirasakan kurang efisien karena anak
tidak dapat melihat dan memahami reaksi lingkungannya secara tepat.
Perkembangan emosi anak
tunanetra akan semakin terhambat bila anak mengalami deprivasi emosi, yaitu keadaan di mana anak tunanetra tersebut
kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan
seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Anak tunanetra
yang cenderung mengalami deprivasi emosi ini terutama adalah anak-anak yang
pada masa awal kehidupannya atau perkembangannya ditolak kehadirannya oleh
keluarga atau lingkungannya. Deprevasi emosi ini akan sangat berpengaruh
terhadap aspek perkembangan lainnya seperti perkembangan fisik, motorik, bicara,
intelektual, dan sosialnya.
Masalah lain yang timbul pada
masa perkembangan emosi anak tunanetra yaitu emosi yang negatif dan berlebihan.
Semua ini berpangkal pada keterbatasan melihat serta merasakan
pengalaman-pengalaman. Pola emosi yang negatif dan berlebihan itu seperti
perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan
yang berlebihan.
e.
Perkembangan Kepribadian
Berdasarkan pengamatan
sehari-hari bahwa anak-anak tunanetra sering menunjukkan karakteristik perilaku
yang berbeda dengan orang normal. Menurut Sukino Pradopo, gambaran sifat anak
tunanetra diantaranya adalah ragu-ragu, rendah diri, dan curiga pada orang
lain. Sedangkan menurut Sommer, anak tunanetra cenderung memiliki sifat yang
berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri, dan menyalahkan
orang lain, serta tidak mengakui kecacatannya.
f.
Masalah dan Dampak Ketunanetraan
Berdasarkan pemaparan di atas
tampak bahwa anak tunanetra cenderung memliki berbagai masalah yang berhubungan
dengan bidang pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisi waktu luang, maupun
pekerjaan. Semua permasalahan tersebut perlu diantisipasi dengan memberikan
layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan, dan kesempatan yang luas bagi
anak tunanetra sehingga permasalahan yang mungkin timbul dapat diatasi sedini
mungkin. Permasalahan-permasalahan tersebut butuh ditangani agar tidak
merugikan perkembangan anak tunanetra tersebut.
Menurut orang normal,
penyandang tunanetra memliki beberapa karakteristik baik yang positif maupun
yang negatif. Karakteristik positif penyandang tunanetra misalnya memiliki
kepekaan yang baik terhadap suara, perabaan, ingatan, keterampilan dalam
bermain musik, serta ketertarikan yang tinggi terhadap nilai moral dan agama.
Sedangkan pandangan negatif orang normal terhadap penyandang tunanetra misalnya
memiliki sikap tidak berdaya, bersifat ketergantungan, tingkat kemampuan rendah
dalam orientasi waktu, tidak suka berenang, menikmati suara dari televisi,
tidak pernah merasakan kebahagiaan, sifat kepribadian yang penuh frustasi, kaku
dan cepat menarik tangan saat bersalaman serta cepat mengalami kebingungan.
B. Karakteristik dan Masalah Perkembangan Anak Tunagrahita
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut
anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah ini
sesungguhnya memiliki arti yang sama yang menjelaskan kondisi anak yang
kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan
intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Anak tunagrahita atau
yang dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan
kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di
sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu aak terbelakang mental
membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan
anak tersebut.
Tunagrahita merupakan kondisi di mana perkembangan
kecerdasan anak mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan
yang optimal. Ada beberapa karakteristik umum tunagrahita yang dapat kita
pelajari, yaitu:
a.
Keterbatasan Intelegensi
Intelegensi merupakan fungsi
yang kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi
dan keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah dan situasi kehidupan baru,
belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai
secara kritis, menghindari kesalahan, mengatasi kesulitan, dan kemampuan untuk
merencanakan masa depan. Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal
tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak
sepeti belajar dan berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan
belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
b.
Keterbatasan Sosial
Di samping memiliki
keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam
mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan
bantuan.
Anak tunagrahita cenderung berteman
dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat
besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga
mereka harus selalu dibimbing dan diawasai. Mereka juga mudah dipengaruhi dan
cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
c.
Keterbatasan Fungsi-Fungsi Mental Lainnya
Anak tunagrahita memerlukan
waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya.
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa, mereka bukan
bermasalah pada artikulasi, tetapi pada berbendaharaan kata yang kurang
berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu, anak tunagrahita juga kurang mampu
untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan yang baik dan yang buruk, dan
membedakan yang benar dan yang salah.
Pengelompokan pada umumnya didasarkan pada taraf
intelegitasnya, yang terdiri dari keterbelakangan ringan, sedang, dan berat.
Demikian pemaparan lebih jelasnya:
a.
Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil.
Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala
Weschler memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan
berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak
tunagrahita ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya
sendiri.
Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami
gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal lainnya.
b.
Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan 54-40
pada Skala Weschler. Anak tunagrahita sedang dapat dididik mengurus diri
sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya kebakaran, berjalan di jalan raya,
berlindung dari hujan, dan sebagainya.
Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat
belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan menghitung
walaupun mereka masih dapat menulis secara sosial, misalnya menulis namanya
sendiri, alamat rumahnya, dan lain-lain. Masih dapat dididik mengurus diri
sendiri.
c.
Tunagrahita Berat
Kelompok tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi
sebagai anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat memiliki IQ
32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menurut Skala Weschler. Tunagrahita
sangat berat memiliki IQ di bawah 19menurut Skala Binet dan IQ di bawah 24
menurut Skala Weschler.
Anak tunagrahita berat memerlukan perawatan secara total
dalam hal berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan
perlindungan selama hidupnya.
Pada makalah ini penulis akan memaparkan perkembangan fisik anak
tunagrahita, perkembangan kognitif, dan dampak ketunagrahitaan.
a.
Perkembangan Fisik
Perkembangan jasmani dan motorik anak tunagrahita tidak
secepat perkembangan anak normal sebagaimana banyak ditulis orang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesegaran jasmani anak keterbelakangan
mental. Tingkat kesegaran jasmani anak tunagrahita setingkat lebih rendah
dibandingkan dengan anak normal pada umur yang sama.
b.
Perkembangan
Kognitif
Dalam hal kecepatan belajar, anak tunagrahita jauh
ketinggalan oleh anak normal. Untuk mencapai kriteria yang dicapai oleh anak
tunagrahita lebih banyak memerlukan ulangan tentang bahan tersebut.
Ketepatan respon anak tunagrahita kurang daripada respon
anak normal. Tetapi bila tugas yang diberikan bersifat diskriminasi visual,
ternyata posisi anak tunagrahita hampir sama dengan yang diperoleh anak normal.
Dalam hal memori, anak tunagrahita berbeda dengan anak
normal pada short term memory. Namun
pada long term memory anak
tunagrahita tidak berbeda dengan anak normal, daya ingatnya sama. Namun, untuk
hal mengingat segera, anak tunagrahita berbeda dengan anak normal.
Fleksibilitas mental yang kurang pada anak tunagrahita
mengakibatkan kesulitan dalam pengorganisasian bahan yang akan dipelajari. Oleh
karena itu sukar bagi anak tunagrahita untuk menangkap informasi yang kompleks.
c.
Dampak
Ketunagrahitaan
Orang yang paling banyak menanggung beban akibat
ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Oleh sebab itu
dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita merupakan resiko psikiatri
keluarga. Keluarga anak tunagrahita berada dalam resiko yang berat dan bersiap
menghadapi hal-hal yang bersifat emosional.
Pada umumnya, masyarakat kurang mengacuhkan anak
tunagrahita, bahkan tidak dapat membedakannya dari orang gila. Orang tua
biasanya tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya yang mengalami tunagrahita.
Saudara-sauadaranya ketika memasuki usia remaja akan mengalami tekanan
emosional dan merasa terbebani dengan hadirnya anak tunagrahita dalam keluarga
mereka. Dilihat dari satu sisi, ada baiknya anak tunagrahita dipisahkan dari
tempat penampungan. Namun dari sisi lain, pemisahan seperti ini akan berdampak
pada ketegangan orang tua, terutama ib yang sangat menyayangi anaknya.
C.
Karakteristik dan Masalah Perkembangan Anak Disleksia
Disleksia berasal dari bahasa Yunani iaitu "dys" bermakna susah, dan
"lexia" bermakna
tulisan. Disleksia bukannya satu penyakit, tetapi merupakan salah satu gangguan
dalam pembelajaran yang biasanya dialami oleh kanak-kanak. Lazimnya, masalah
pembelajaran yang dihadapi adalah seperti membaca, menulis, mengeja, dan kemahiran
mengira. Oleh itu dyslexia merujuk kepada mereka yang menghadapi masalah untuk
membaca dan menulis walaupun mempunyai daya pemikiran yang normal.
Mereka yang mengalami
disleksia bukannya menghadapi
kecacatan malah sebagian daripada orang-orang yang terkenal juga mempunyai
disleksia. Setengah mereka yang mempunyai keadaan disleksia mempunyai kesukaran
untuk menyebut perkataan yang panjang, dan ada yang sukar mempelajari turutan
seperti nama bulan. Setiap orang dengan disleksia mempunyai masalah yang tidak
serupa dengan orang lain dengan disleksia.
Masalah disleksia
berbeda dengan afasia, yang merupakan
sejenis penyakit yang disebabkan oleh kerosakan saraf otak, dengan itu akan
melumpuhkan kebolehan seseorang untuk berkomunikasi.
Ciri-ciri anak
yang mengalami disleksia, yaitu:
a.
Selalunya dikesan pada
peringkat awal persekolahan kanak-kanak.
b.
Lambat membaca dan
mempunyai tulisan tangan yang buruk.
c.
Ketika membaca, sering
mengurang dan menambah pada sesuatu perkataan.
d.
Sering keliru dengan
sesuatu perkataan pada huruf-huruf tertentu contohnya 'b' dianggap 'd' dan 'p'
dianggap 'q'.
e.
Perhatian mudah
terganggu atau gagal untuk menghabiskan sesuatu kerja hingga habis.
f.
Cenderung menjadi
seorang yang impulsif atau sering mengikut perasaan sendiri tanpa memikirkan
orang lain.
g.
Sering berlaku di
kalangan lelaki.
h.
Kerap berlaku di
kalangan pasangan kembar, kanak-kanak yang lahir tidak cukup bulan, anak-anak
yang lahir daripada ibu yang sudah berumur, dan kanak-kanak yang pernah
mengalami kecederaan pada kepala.
Penyebab disleksia akibat cara kerja otak yang
berbeda daripada keadaan yang
normal. Apabila ujian imbasan dijalankan ke atas penderita disleksia, didapati cara otak mereka
memproses maklumat agak berbeda
daripada biasa. Perbedaan
ini mungkin disebabkan oleh kecacatan pada otak yang berlaku semasa dalam
kandungan ataupun daripada kemalangan. Faktor keturunan juga dikatakan sebagai
salah satu penyebab
disleksia.
Penderita disleksia biasanya mengalami masalah-masalah,
seperti :
a.
Masalah fonologi: Yang
dimaksud masalah fonologi adalah hubungan sistematik antara huruf dan bunyi.
Misalnya mereka mengalami kesulitan membedakan ”paku” dengan ”palu”; atau
mereka keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya
”lima puluh” dengan ”lima belas”. Kesulitan ini tidak disebabkan masalah
pendengaran, tetapi berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak.
b.
Masalah mengingat
perkataan: Kebanyakan anak disleksia mempunyai level kecerdasan normal atau di
atas normal. Namun, mereka mempunyai kesulitan mengingat perkataan. Mereka
mungkin sulit menyebutkan nama teman-temannya dan memilih untuk memanggilnya
dengan istilah “temanku di sekolah” atau “temanku yang laki-laki itu”. Mereka
mungkin dapat menjelaskan suatu cerita, tetapi tidak dapat mengingat jawaban
untuk pertanyaan yang sederhana.
c.
Masalah penyusunan yang
sistematis atau berurut: Anak disleksia mengalami kesulitan menyusun sesuatu
secara berurutan misalnya susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu,
atau susunan huruf dan angka. Mereka sering ”lupa” susunan aktivitas yang sudah
direncanakan sebelumnya, misalnya lupa apakah setelah pulang sekolah langsung
pulang ke rumah atau langsung pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal,
orangtua sudah mengingatkannya bahkan mungkin hal itu sudah pula ditulis dalam
agenda kegiatannya. Mereka juga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan
perkiraan terhadap waktu. Misalnya mereka mengalami kesulitan memahami
instruksi seperti ini: ”Waktu yang disediakan untuk ulangan adalah 45 menit.
Sekarang pukul 08.00. Maka 15 menit sebelum waktu berakhir, Ibu Guru akan
mengetuk meja satu kali”. Kadang kala mereka pun ”bingung” dengan perhitungan
uang yang sederhana, misalnya mereka tidak yakin apakah uangnya cukup untuk
membeli sepotong kue atau tidak.
d.
Masalah ingatan jangka
pendek: Anak disleksia mengalami kesulitan memahami instruksi yang panjang
dalam satu waktu yang pendek. Misalnya ibu menyuruh anak untuk “Simpan tas di
kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki dan tangan, lalu turun ke
bawah lagi untuk makan siang bersama ibu, tapi jangan lupa bawa serta buku PR
Matematikanya, ya”, maka kemungkinan besar anak disleksia tidak melakukan
seluruh instruksi tersebut dengan sempurna karena tidak mampu mengingat seluruh
perkataan ibunya.
e.
Masalah pemahaman
sintaks: Anak disleksia sering mengalami kebingungan dalam memahami tata
bahasa, terutama jika dalam waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua atau
lebih bahasa yang mempunyai tata bahasa yang berbeda. Anak disleksia mengalami
masalah dengan bahasa keduanya apabila pengaturan tata bahasanya berbeda
daripada bahasa pertama. Misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal susunan
diterangkan–menerangkan (contoh: tas merah). Namun, dalam bahasa Inggris
dikenal susunan menerangkan-diterangkan (contoh: red bag).
Disleksia hanya dapat dikesan apabila beberapa ujian
dilakukan ke atas penderita
di bawah pengendalian ahli psikologi atau guru khas disleksia. Kelainan ini boleh dirawat tetapi tidak boleh diobati. Penghidap
disleksia lazimnya akan diberi rawatan secara terapi untuk meningkatkan
kemahiran linguistik, berpikir,
dan sosial.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari pemaparan pada
makalah ini yaitu:
a.
Anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya)
tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari
seperti halnya orang normal.
b.
Anak tunanetra memliki karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik, dan
kepribadian serta dampak dan masalah yang sangat bervariasi. Hal ini sangat
bergantung pada sejak kapan anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat
ketajaman penglihatannya, berapa usianya, serta bagaimana tingkat
pendidikannya.
c.
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang
mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata.
d.
Karakteristik umum anak tunagrahita ialah keterbatasan intelegensi,
keterbatasan sosial, dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya.
e.
Klasifikasi anak tunagrahita ialah tunagrahita ringan (moron), tunagrahita
sedang (imbesil), dan tunagrahita berat (idiot).
f.
Orang yang paling
banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga
anak tersebut.
g.
Disleksia berasal dari bahasa Yunani iaitu "dys" bermakna susah,
dan "lexia"
bermakna tulisan. Disleksia bukannya satu penyakit, tetapi merupakan salah satu
gangguan dalam pembelajaran yang biasanya dialami oleh kanak-kanak.
h.
15
|
i.
Penyebab disleksia akibat cara kerja otak yang
berbeda daripada keadaan yang
normal. Faktor keturunan juga
dikatakan sebagai salah satu penyebab
disleksia.
j.
Penderita disleksia biasanya mengalami masalah-masalah,
seperti masalah fonologi, mengingat perkataan, penyusunan yang
sistematis atau berurut, ingatan jangka pendek, dan pemahaman sintaks.
k.
Kelainan disleksia ini
boleh dirawat tetapi tidak boleh diobati.
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, T.
Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar
Biasa. PT Refika Aditama: Bandung.
Desmita. 2010. Psikologi Perkembangan. PT Remaja
Rosdakarya: Bandung.
Candra, Asep. 2010.
Apa Itu Disleksia?. health.kompas.com. Diakses pada
tanggal 7 Mei 2012 pada pukul 17.59
WITA.
17
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar