Kamis, 12 Juli 2012

Laporan Hasil Observasi Terhadap Anak Penderita Down Syndrome


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pengetahuan tentang anak sudah lama dikenal. Pada zaman Romawi dan Yunani sudah ada para ahli yang memperhatikan pendidikan anak walaupun pada saat itu anak belum dipandang sebagai bentuk manusia tersendiri. Penelitian terhadap anak dan buku-buku mengenai perkembangan jiwa anak pada zaman dahulu masih sangat minim bahkan belum ada.
Namun kemudian studi sistematis tentang perkembangan anak mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada awal abad ke-20. Penelitian-penelitian yang dilakukan pada zaman ini bersifat deskriptif dan dititikberatkan pada ciri-ciri khas yang terdapat secara umum, golongan-golongan umur, serta masa-masa perkembangan tertentu.
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa perkembangan anak bersifat diskriptif sesuai dengan golongan umurnya, namun ada kondisi dimana anak memerlukan perhatian khusus.
Dilatarbelakangi pemaparan di atas, penyusun pun melakukan sebuah penelitian secara observasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, dan penyusun memfokuskan kepada anak penderita Down Syndrome. Penelitian observasi tersebut dilaksanakan pada :
Tempat                 : Sekolah Dasar Luar Biasa Pembina Tingkat Provinsi
Hari/Tanggal        : Selasa, Jumat, dan Sabtu/22, 25, dan 26 Mei 2012
Waktu                  : Pukul 09.00 – 11.00 WITA

B.  Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan penulis rumuskan pada laporan hasil observasi ini, yaitu :
1.        Apa saja karakteristik anak penderita Down Syndrome?
2.        Bagaimana proses belajar anak penderita Down Syndrome?

C.  Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dibuatnya laporan ini selain sebagai tugas kelompok pada mata kuliah Psikologi Perkembangan I juga agar pembaca mengetahui tentang apa saja karakteristik anak penderita Down Syndrome dan bagaimana proses belajar-mengajar anak penderita Down Syndrome  beserta masalah-masalah yang muncul didalamnya.

BAB II
HASIL OBSERVASI
A.  Karakteristik Anak Penderita Down Syndrome
Berdasarkan hasil observasi yang penyusun lakukan, anak penderita Down Syndrome disebut mongolisme (tampak seperti orang Mongol, karena adanya lipatan di atas kelopak mata). Penderita Down Syndrome memiliki ciri-ciri bertubuh pendek (sekitar 120cm), wajah berbentuk bulat, kelopak mata atas mempunyai lipatan, mata sipit, bibir tebal, hidung lebar dan datar, telinga kecil dan menjorok, telapak tangan lebar, jari berukuran pendek dan gemuk, ujung jari-jari halus, gigi kecil dan jarang (pada beberapa anak, giginya rusak), air liur sering menetes, bicaranya tidak jelas (bahkan pada beberapa anak, tidak dapat berbicara), mempunyai kelainan jantung, lemah mental, dan IQ rendah (anak-anak penderita Down Syndrome yang bersekolah di tempat observasi dilakukan hanya anak-anak imbisil (IQ 25-49) dan debil (IQ 50-69). Untuk anak idiot (IQ 24), pihak sekolah tidak menerima).

B.  Proses Belajar Anak Penderita Down Syndrome
Berdasarkan hasil observasi, kelas untuk anak penderita Down Syndorme terbagi atas 2 kelas, yaitu kelas bagi anak-anak penderita Down Syndrome ringan dan kelas bagi anak-anak penderita Down Syndrome berat. Untuk kelas anak penderita Down Syndrome ringan ditangani oleh Ibu Suhera, sedangkan untuk kelas anak penderita Down Syndrome berat ditangani oleh Bapak Jayalangkara dan dua rekan kerjanya.
Pada hari pertama dan kedua observasi dilakukan, penyusun mengunjungi kelas anak penderita Down Syndrome berat. Namun karena adanya sedikit hambatan, sehingga penyusun tidak sempat melihat proses belajar mengajar pada kelas yang ditangani oleh Bapak Jayalangkara, atau yang akrab dipanggil Bapak Jaya, ini. Penyusun hanya sempat bertemu dengan salah satu anak penderita Down Syndrome berat.
Pada hari pertama observasi, penyusun mendapat cukup informasi dari Bapak Jaya yang menyatakan bahwa kelas yang ditanganinya terdiri atas 8 anak yang terbagi atas 4 anak kelas 2 SD dan 4 anak kelas 3 SD. Kondisi kelas yang ditangani oleh Bapak Jaya ini merupakan sebuah kelas yang dibagi menjadi dua bagian dengan dibatasi oleh papan pembatas antara kelas 2 SD dan kelas 3 SD. Menurut Bapak Jaya, kondisi kelas seperti ini, di mana dalam satu kelas terdapat 8 anak yang wajahnya mirip satu sama lain namun dengan karakter dan kondisi emosional yang terus berubah, walaupun memiliki pembatas, sangat sulit. Kadang saat Bapak Jaya sedang mengurus anak yang satu, anak yang lain datang dan menarik-narik celananya, lalu datang anak yang lain lagi membawa mainannya dan mengajak Bapak Jaya bermain. Belum lagi jika ada anak perempuan yang sedang menstruasi. Bapak Jaya akan melarang anak itu datang sekolah.
Menurut pernyataan Bapak Jaya dan guru dari kelas tunarungu, Ibu Mimin, ada juga anak Down Syndrome berat yang terkadang buang air besar (BAB) di kelas dan memainkan kotorannya sehingga seluruh kelas menjadi kotor. Kondisi ini jelas sangat sulit dan merepotkan. Namun, itulah tantangan, tugas dan tanggung jawab para guru sebagai pendidik anak-anak berkebutuhan khusus.
Menurut informasi yang penyusun peroleh dari wawancara dengan Bapak Jaya, kondisi emosional anak-anak penderita Down Syndrome itu sangat mudah berubah dan sulit ditebak. Terkadang anak-anak penderita Down Syndrome tampak begitu menyayangi gurunya, mereka mengelus lembut wajah gurunya, namun tidak lama setelah itu, mereka langsung menampar gurunya.
Bapak Jaya kembali memberikan informasi bahwa cara mengajar di kelas anak penderita Down Syndrome itu sangat berbeda dari mengajar di kelas anak-anak berkebutuhan khusus apalagi anak-anak normal. Selain karena kondisi emosional anak-anak penderita Down Syndrome ini sangat labil, mereka juga memiliki IQ yang rendah. Bapak Jaya mengaku, sebagai guru dirinya harus memiliki inovasi dan kreativitas setiap harinya untuk menarik perhatian dari murid-muridnya. Terkadang dalam sekali mengajar, beberapa mata pelajaran dapat langsung tersampaikan kepada muridnya. Salah satu metode yang biasa digunakan oleh Bapak Jaya ketika mengajar yaitu memulai kelas dengan bermain. Awalnya Bapak Jaya memperlihatkan sebuah bola. Lalu bertanya apa yang sedang dia pegang. Setelah murid-murid menjawab, Bapak Jaya akan meminta salah satu murid menuliskan huruf yang menyusun nama benda tersebut. Di sini pelajaran Bahasa Indonesia diajarkan. Setelah itu Bapak Jaya akan bertanya berapa jumlah bola yang ada. Di sini pelajaran Matematika diajarkan. Dan setelah itu Bapak Jaya akan melemparkan bola kepada murid-muridnya, maka murid-murid akan melatih gerak motoriknya.
Salah satu tantangan terberat bagi para guru yaitu memahami apa keinginan muridnya. Sebagian besar anak penderita Down Syndrome sulit dimengerti keinginannya. Hal ini disebabkan perbendaharaan kata anak sangat minim, ada beberapa anak yang tidak mau berbicara, dan ada anak yang hanya mengerti jika menggunakan bahasa yang sering digunakan di rumahnya (misalnya bahasa daerah).
Observasi pada hari ketiga dilakukan pada kelas Down Syndrome ringan yang ditangani oleh Ibu Suhera. Di kelas ini terdapat 2 kelompok kelas, yaitu kelas 5 SD dan kelas 1 SMP. Pada kelas 5 SD hanya terdapat 1 orang anak, dan pada kelas 1 SMP terdapat 5 orang anak. Penyusun memfokuskan observasi terhadap anak kelas 5 SD bernama Waode. Menurut keterangan dari Ibu Suhera dan observasi penyusun, Waode merupakan seorang anak penderita Down Syndrome yang sudah cukup mampu mengurus dirinya sendiri. Konsentrasi Waode cukup baik, bicaranya cukup jelas, dan kondisi emosinya cukup terkontrol. Saat penyusun melakukan observasi, Waode sedang bermain masak-memasak. Setelah Waode bermain, Waode membereskan mainannya lalu menyimpan mainannya itu ke dalam lemari penyimpanan. Setelah itu Waode memakai sendiri kaos kaki dan sepatunya. Waode juga mengenal orang yang datang menjemputnya, sehingga saat Waode melihat penjemputnya di depan kelas, Waode langsung berpamitan pada para penyusun yang sedang melakukan observasi, juga kepada teman-teman di kelas 1 SMP dan kepada Ibu Suhera. Menurut pernyataan Ibu Suhera, Waode merupakan salah satu anak penderita Down Syndrome ringan yang IQ-nya cukup baik dan mudah dididik.
Dari hasil observasi ini, dapat dilihat bahwa sebagian besar kegiatan fisik mudah dilatih pada anak penderita Down Syndrome, sebab umumnya kegiatan fisik tidak membutuhkan aktivitas mental yang normal (berfikir, menganalisa, dan mengingat), tetapi hanya berupa aktivitas gerak tubuh yang mudah dipandu bagi seluruh jenis kebutuhan khusus. Sedangkan untuk melatih aktivitas mental, akan sangat sulit. Dan berdasarkan hasil observasi ini, merupakan suatu keberhasilan pendidikan jika anak penderita Down Syndrome sudah mampu mengurus dirinya sendiri, seperti mengancingkan bajunya sendiri tanpa suatu kesalahan, memakai sepatunya sendiri, merapikan permainannya, dan aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat penyusun ambil dari pemaparan hasil observasi ini yaitu:
1.        Anak penderita Down Syndrome disebut juga mongolisme.
2.        Penderita Down Syndrome memiliki ciri-ciri bertubuh pendek (sekitar 120cm), wajah berbentuk bulat, kelopak mata atas mempunyai lipatan, mata sipit, bibir tebal, hidung lebar dan datar, telinga kecil dan menjorok, telapak tangan lebar, jari berukuran pendek dan gemuk, ujung jari-jari halus, gigi kecil dan jarang (pada beberapa anak, giginya rusak), air liur sering menetes, bicaranya tidak jelas (bahkan pada beberapa anak, tidak dapat berbicara), mempunyai kelainan jantung, lemah mental, dan IQ rendah.
3.        Kondisi emosional anak-anak penderita Down Syndrome itu sangat mudah berubah (labil) dan sulit ditebak.
4.        Guru harus memiliki inovasi dan kreativitas setiap harinya untuk menarik perhatian dari murid-murid penderita Down Syndrome.
5.        Salah satu tantangan terberat bagi para guru yaitu memahami apa keinginan muridnya.
6.        Sebagian besar kegiatan fisik mudah dilatih pada anak penderita Down Syndrome, sebab umumnya kegiatan fisik tidak membutuhkan aktivitas mental.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar