BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan tentang anak sudah lama dikenal. Pada zaman
Romawi dan Yunani sudah ada para ahli yang memperhatikan pendidikan anak
walaupun pada saat itu anak belum dipandang sebagai bentuk manusia tersendiri.
Penelitian terhadap anak dan buku-buku mengenai perkembangan jiwa anak pada
zaman dahulu masih sangat minim bahkan belum ada.
Namun kemudian studi sistematis tentang perkembangan anak
mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada awal abad ke-20.
Penelitian-penelitian yang dilakukan pada zaman ini bersifat deskriptif dan
dititikberatkan pada ciri-ciri khas yang terdapat secara umum,
golongan-golongan umur, serta masa-masa perkembangan tertentu.
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa perkembangan
anak bersifat diskriptif sesuai dengan golongan umurnya, namun ada kondisi
dimana anak memerlukan perhatian khusus.
Dilatarbelakangi pemaparan di atas, penyusun pun
melakukan sebuah penelitian secara observasi terhadap anak-anak berkebutuhan
khusus, dan penyusun memfokuskan kepada anak penderita Down Syndrome. Penelitian observasi tersebut dilaksanakan pada :
Tempat :
Sekolah Dasar Luar Biasa Pembina Tingkat Provinsi
Hari/Tanggal :
Selasa, Jumat, dan Sabtu/22, 25, dan 26 Mei 2012
Waktu :
Pukul 09.00 – 11.00 WITA
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan penulis rumuskan pada laporan
hasil observasi ini, yaitu :
1.
Apa saja karakteristik anak penderita Down
Syndrome?
2.
Bagaimana proses belajar anak penderita Down
Syndrome?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dibuatnya laporan ini selain sebagai
tugas kelompok pada mata kuliah Psikologi Perkembangan I juga agar pembaca
mengetahui tentang apa saja karakteristik anak penderita Down Syndrome dan bagaimana proses belajar-mengajar anak penderita Down Syndrome beserta masalah-masalah yang muncul
didalamnya.
BAB II
HASIL
OBSERVASI
A. Karakteristik Anak Penderita Down
Syndrome
Berdasarkan hasil observasi yang penyusun lakukan, anak
penderita Down Syndrome disebut mongolisme (tampak seperti orang Mongol,
karena adanya lipatan di atas kelopak mata). Penderita Down Syndrome memiliki ciri-ciri bertubuh pendek (sekitar 120cm),
wajah berbentuk bulat, kelopak mata atas mempunyai lipatan, mata sipit, bibir
tebal, hidung lebar dan datar, telinga kecil dan menjorok, telapak tangan lebar,
jari berukuran pendek dan gemuk, ujung jari-jari halus, gigi kecil dan jarang
(pada beberapa anak, giginya rusak), air liur sering menetes, bicaranya tidak
jelas (bahkan pada beberapa anak, tidak dapat berbicara), mempunyai kelainan
jantung, lemah mental, dan IQ rendah (anak-anak penderita Down Syndrome yang bersekolah di tempat observasi dilakukan hanya
anak-anak imbisil (IQ 25-49) dan debil (IQ 50-69). Untuk anak idiot (IQ 24),
pihak sekolah tidak menerima).
B. Proses Belajar Anak Penderita Down
Syndrome
Berdasarkan hasil observasi, kelas untuk anak penderita Down Syndorme terbagi atas 2 kelas,
yaitu kelas bagi anak-anak penderita Down
Syndrome ringan dan kelas bagi anak-anak penderita Down Syndrome berat. Untuk kelas anak penderita Down Syndrome ringan ditangani oleh Ibu
Suhera, sedangkan untuk kelas anak penderita Down Syndrome berat ditangani oleh Bapak Jayalangkara dan dua rekan
kerjanya.
Pada hari pertama dan kedua observasi dilakukan, penyusun
mengunjungi kelas anak penderita Down
Syndrome berat. Namun karena adanya sedikit hambatan, sehingga penyusun
tidak sempat melihat proses belajar mengajar pada kelas yang ditangani oleh
Bapak Jayalangkara, atau yang akrab dipanggil Bapak Jaya, ini. Penyusun hanya
sempat bertemu dengan salah satu anak penderita Down Syndrome berat.
Pada hari pertama observasi, penyusun mendapat cukup
informasi dari Bapak Jaya yang menyatakan bahwa kelas yang ditanganinya terdiri
atas 8 anak yang terbagi atas 4 anak kelas 2 SD dan 4 anak kelas 3 SD. Kondisi
kelas yang ditangani oleh Bapak Jaya ini merupakan sebuah kelas yang dibagi
menjadi dua bagian dengan dibatasi oleh papan pembatas antara kelas 2 SD dan
kelas 3 SD. Menurut Bapak Jaya, kondisi kelas seperti ini, di mana dalam satu
kelas terdapat 8 anak yang wajahnya mirip satu sama lain namun dengan karakter
dan kondisi emosional yang terus berubah, walaupun memiliki pembatas, sangat
sulit. Kadang saat Bapak Jaya sedang mengurus anak yang satu, anak yang lain
datang dan menarik-narik celananya, lalu datang anak yang lain lagi membawa
mainannya dan mengajak Bapak Jaya bermain. Belum lagi jika ada anak perempuan
yang sedang menstruasi. Bapak Jaya akan melarang anak itu datang sekolah.
Menurut pernyataan Bapak Jaya dan guru dari kelas
tunarungu, Ibu Mimin, ada juga anak Down
Syndrome berat yang terkadang buang air besar (BAB) di kelas dan memainkan
kotorannya sehingga seluruh kelas menjadi kotor. Kondisi ini jelas sangat sulit
dan merepotkan. Namun, itulah tantangan, tugas dan tanggung jawab para guru
sebagai pendidik anak-anak berkebutuhan khusus.
Menurut informasi yang penyusun peroleh dari wawancara
dengan Bapak Jaya, kondisi emosional anak-anak penderita Down Syndrome itu sangat mudah berubah dan sulit ditebak. Terkadang
anak-anak penderita Down Syndrome
tampak begitu menyayangi gurunya, mereka mengelus lembut wajah gurunya, namun
tidak lama setelah itu, mereka langsung menampar gurunya.
Bapak Jaya kembali memberikan informasi bahwa cara
mengajar di kelas anak penderita Down
Syndrome itu sangat berbeda dari mengajar di kelas anak-anak berkebutuhan
khusus apalagi anak-anak normal. Selain karena kondisi emosional anak-anak
penderita Down Syndrome ini sangat
labil, mereka juga memiliki IQ yang rendah. Bapak Jaya mengaku, sebagai guru
dirinya harus memiliki inovasi dan kreativitas setiap harinya untuk menarik
perhatian dari murid-muridnya. Terkadang dalam sekali mengajar, beberapa mata
pelajaran dapat langsung tersampaikan kepada muridnya. Salah satu metode yang
biasa digunakan oleh Bapak Jaya ketika mengajar yaitu memulai kelas dengan
bermain. Awalnya Bapak Jaya memperlihatkan sebuah bola. Lalu bertanya apa yang
sedang dia pegang. Setelah murid-murid menjawab, Bapak Jaya akan meminta salah
satu murid menuliskan huruf yang menyusun nama benda tersebut. Di sini pelajaran
Bahasa Indonesia diajarkan. Setelah itu Bapak Jaya akan bertanya berapa jumlah
bola yang ada. Di sini pelajaran Matematika diajarkan. Dan setelah itu Bapak
Jaya akan melemparkan bola kepada murid-muridnya, maka murid-murid akan melatih
gerak motoriknya.
Salah satu tantangan terberat bagi para guru yaitu
memahami apa keinginan muridnya. Sebagian besar anak penderita Down Syndrome sulit dimengerti
keinginannya. Hal ini disebabkan perbendaharaan kata anak sangat minim, ada
beberapa anak yang tidak mau berbicara, dan ada anak yang hanya mengerti jika
menggunakan bahasa yang sering digunakan di rumahnya (misalnya bahasa daerah).
Observasi pada hari ketiga dilakukan pada kelas Down Syndrome ringan yang ditangani oleh
Ibu Suhera. Di kelas ini terdapat 2 kelompok kelas, yaitu kelas 5 SD dan kelas
1 SMP. Pada kelas 5 SD hanya terdapat 1 orang anak, dan pada kelas 1 SMP
terdapat 5 orang anak. Penyusun memfokuskan observasi terhadap anak kelas 5 SD
bernama Waode. Menurut keterangan dari Ibu Suhera dan observasi penyusun, Waode
merupakan seorang anak penderita Down
Syndrome yang sudah cukup mampu mengurus dirinya sendiri. Konsentrasi Waode
cukup baik, bicaranya cukup jelas, dan kondisi emosinya cukup terkontrol. Saat
penyusun melakukan observasi, Waode sedang bermain masak-memasak. Setelah Waode
bermain, Waode membereskan mainannya lalu menyimpan mainannya itu ke dalam
lemari penyimpanan. Setelah itu Waode memakai sendiri kaos kaki dan sepatunya.
Waode juga mengenal orang yang datang menjemputnya, sehingga saat Waode melihat
penjemputnya di depan kelas, Waode langsung berpamitan pada para penyusun yang
sedang melakukan observasi, juga kepada teman-teman di kelas 1 SMP dan kepada
Ibu Suhera. Menurut pernyataan Ibu Suhera, Waode merupakan salah satu anak
penderita Down Syndrome ringan yang
IQ-nya cukup baik dan mudah dididik.
Dari hasil observasi ini, dapat
dilihat bahwa sebagian besar kegiatan fisik mudah dilatih pada anak penderita Down Syndrome, sebab umumnya kegiatan
fisik tidak membutuhkan aktivitas mental yang normal (berfikir, menganalisa, dan
mengingat), tetapi hanya berupa aktivitas gerak tubuh yang mudah dipandu bagi
seluruh jenis kebutuhan khusus. Sedangkan untuk melatih aktivitas mental, akan
sangat sulit. Dan
berdasarkan hasil observasi ini, merupakan suatu keberhasilan pendidikan jika
anak penderita Down Syndrome sudah
mampu mengurus dirinya sendiri, seperti mengancingkan bajunya sendiri tanpa
suatu kesalahan, memakai sepatunya sendiri, merapikan permainannya, dan
aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat penyusun ambil dari pemaparan hasil
observasi ini yaitu:
1.
Anak penderita Down Syndrome
disebut juga mongolisme.
2.
Penderita Down Syndrome memiliki
ciri-ciri bertubuh pendek (sekitar 120cm), wajah berbentuk bulat, kelopak mata
atas mempunyai lipatan, mata sipit, bibir tebal, hidung lebar dan datar,
telinga kecil dan menjorok, telapak tangan lebar, jari berukuran pendek dan
gemuk, ujung jari-jari halus, gigi kecil dan jarang (pada beberapa anak,
giginya rusak), air liur sering menetes, bicaranya tidak jelas (bahkan pada
beberapa anak, tidak dapat berbicara), mempunyai kelainan jantung, lemah
mental, dan IQ rendah.
3.
Kondisi emosional anak-anak penderita Down
Syndrome itu sangat mudah berubah (labil) dan sulit ditebak.
4.
Guru harus memiliki inovasi dan
kreativitas setiap harinya untuk menarik perhatian dari murid-murid penderita Down Syndrome.
5.
Salah satu tantangan terberat bagi para guru yaitu memahami apa keinginan
muridnya.
6.
Sebagian besar kegiatan fisik
mudah dilatih pada anak penderita Down
Syndrome, sebab umumnya kegiatan fisik tidak membutuhkan aktivitas mental.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar